Di era kecepatan informasi dan dominasi kecerdasan buatan (AI), sebuah pertanyaan mendasar muncul: apa yang membuat manusia unik dan tak tergantikan? Kita melihat AI bisa menulis puisi, menciptakan gambar yang memukau, bahkan meniru suara dan wajah. Namun, ada satu hal yang tak bisa ditiru oleh algoritma secanggih apa pun: hati, empati, dan kemampuan membentuk karakter. Dan di sinilah, para pembaca yang budiman, peran guru profesional menjadi krusial. Mereka bukan sekadar pengajar, tapi penjaga peradaban.
![]() |
https://pendis.kemenag.go.id/ |
Pada hari Sabtu, 21 Juni 2024, di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, kita semua menjadi saksi sebuah momen penting. Sebanyak 554 guru dari berbagai daerah, termasuk Jawa Barat dan Banten, secara resmi dikukuhkan sebagai guru profesional dalam acara Pengukuhan Guru Profesional Batch 2 Tahun 2024. Bayangkan, ada 296 peserta yang hadir langsung di lokasi, dan 258 lainnya bergabung secara daring. Ini adalah bukti nyata bahwa komitmen untuk mencetak pendidik berkualitas tinggi tak mengenal batas geografis. Mereka semua telah menuntaskan serangkaian proses Pendidikan Profesi Guru (PPG) di bawah naungan Kementerian Agama, sebuah perjalanan panjang yang penuh dedikasi.
Guru Profesional: Bukan Sekadar Gelar, Tapi Sebuah Amanat Undang-Undang
Mari kita selami lebih dalam makna di balik predikat "guru profesional." Apakah ini hanya tentang memiliki sertifikat? Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, Amien Suyitno, dengan tegas membantah anggapan itu. Saat memberikan arahan, beliau menekankan bahwa menjadi guru profesional bukan semata urusan administratif, melainkan sebuah amanat besar yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
"Guru profesional harus memenuhi dua syarat: kualifikasi akademik minimal S1 dan kompetensi melalui pendidikan profesi. Ini bukan pilihan, ini kewajiban," tegas Prof. Amien. Pernyataannya lugas dan tidak bisa ditawar. Ini menunjukkan bahwa negara menaruh harapan besar pada pundak para guru. Mereka tidak hanya harus cerdas secara intelektual, tetapi juga harus menguasai pedagogi, psikologi pendidikan, dan memiliki kemampuan mengelola kelas secara efektif. Proses PPG yang mereka lalui, dengan "ranjau-ranjau balistik" seperti Ujian Pengetahuan (UP) dan Ujian Kinerja (UKIN), memastikan bahwa setiap guru yang dikukuhkan benar-benar siap dan layak menyandang status profesional ini. Ujian-ujian tersebut dirancang untuk menguji tidak hanya pemahaman teoritis tetapi juga kemampuan praktis dalam mengajar. Jadi, ketika kita bertemu seorang guru profesional, kita tahu bahwa mereka telah melewati saringan ketat dan membuktikan kompetensinya. Ini tentang kualitas, bukan kuantitas.
![]() |
https://pendis.kemenag.go.id/ |
AI Hebat, Tapi Tak Berhati: Mengapa Guru Tak Tergantikan?
Sekarang, mari kita hadapi realitas yang sering membuat kita berdecak kagum: kecerdasan buatan (AI). Prof. Amien Suyitno, seorang Guru Besar UIN Raden Fattah Palembang, menyampaikan peringatan yang menggelitik namun sangat serius: "AI sudah bisa bikin artikel, gambar, bahkan meniru wajah tokoh sejarah. Tapi satu hal yang belum bisa digantikan adalah kehadiran guru yang menginspirasi.”
Pikirkanlah, AI bisa menghasilkan teks yang koheren, merancang visual yang menakjubkan, atau menganalisis data dalam sekejap mata. Bahkan, Prof. Amien menyebut AI terus berkembang, memiliki "mazhab" layaknya pemikiran keagamaan, menunjukkan betapa kompleksnya teknologi ini. Namun, ada jurang pemisah yang dalam antara kecerdasan buatan dan kecerdasan manusia yang berbasis hati. Teknologi tidak akan pernah mampu menyamai peran guru dalam mentransfer nilai (value transfer), bukan sekadar transfer pengetahuan (knowledge transfer).
"Kalau hanya teori, semua bisa diajarkan oleh AI," ujarnya. "Tapi nilai-nilai hidup, karakter, kasih sayang, empati—itu yang masih hanya bisa ditanamkan oleh guru." Ini adalah inti dari argumen mengapa guru tak tergantikan. AI mungkin bisa memberikan informasi tentang etika, tetapi bisakah ia mengajarkan empati melalui sentuhan pribadi, melalui cerita hidup, atau melalui contoh nyata yang disaksikan langsung oleh siswa? Tentu tidak. Guru adalah jembatan antara kurikulum formal dan pengalaman hidup, antara informasi dan kearifan. Mereka mengajarkan bagaimana menjadi manusia seutuhnya, bukan sekadar mesin penghafal. Mereka membentuk moral, etika, dan spiritualitas yang menjadi fondasi bagi peradaban.
![]() |
https://pendis.kemenag.go.id/ |
Guru sebagai Living Curriculum: Cermin Kehidupan di Luar Kelas
Prof. Amien Suyitno memiliki gaya khas yang reflektif, dan salah satu pernyataannya yang paling menggugah adalah saat ia menyebut guru sebagai living curriculum, atau kurikulum hidup. Ini adalah konsep yang sangat kuat. Pikirkanlah, seorang guru tidak hanya mengajar di dalam kelas. Setiap gerak-gerik mereka, setiap kata yang terucap, setiap respons terhadap situasi, semua itu diamati dan ditiru oleh peserta didik.
"Perilaku Anda akan tercermin pada anak didik Anda. Guru bukan hanya di kelas, tapi di jalan, di rumah, di mana saja," ujarnya. Ini adalah kebenaran yang tak terbantahkan. Anak-anak, terutama di usia dini, seringkali meniru figur otoritas yang mereka kagumi. Prof. Amien bahkan mencontohkan bagaimana anak-anak lebih percaya pada gurunya dibanding orang tuanya sendiri dalam beberapa konteks. Ini menunjukkan betapa besar pengaruh seorang guru.
Seorang guru yang profesional tidak hanya menguasai materi pelajaran, tetapi juga harus menjadi teladan integritas, etika, dan kasih sayang. Mereka mengajarkan disiplin bukan dengan ceramah semata, tetapi dengan kedisiplinan yang mereka tunjukkan. Mereka mengajarkan hormat dengan menghormati setiap siswanya. Mereka mengajarkan empati dengan menunjukkan kepedulian. Ini adalah pendidikan karakter yang sesungguhnya—bukan sekadar teori yang tertulis di buku, tetapi praktik hidup yang dicontohkan setiap hari. Jadi, mari kita renungkan, apakah kita sudah menjadi living curriculum yang baik bagi generasi penerus?
"Ruhul Mudarris": Mengajar dengan Hati, Bukan Sekadar Gugur Kewajiban
Prof. Amien juga mengkritisi gaya mengajar yang sekadar normatif atau hanya menggugurkan kewajiban. Ini adalah poin penting yang membedakan guru biasa dengan guru yang luar biasa. Guru PPG, menurutnya, harus tampil dengan "ruhul mudarris" (jiwa guru). Mengajar bukan sekadar rutinitas, bukan sekadar pekerjaan yang harus diselesaikan, tapi kenikmatan tertinggi.
"Kalau dua jam mengajar terasa hanya lima menit, itu tanda Anda mengajar dengan hati," katanya, disambut tawa hadirin yang mungkin merasakan hal yang sama. Ini adalah indikator yang sangat jitu. Ketika Anda melakukan sesuatu dengan passion dan sepenuh hati, waktu terasa berlalu begitu cepat. Itu bukan lagi beban, melainkan sebuah kegembiraan.
Prof. Amien bahkan menyebutkan tiga ciri guru yang punya passion sejati:
Waktu terasa singkat saat mengajar. Anda begitu asyik berinteraksi dengan siswa, menyampaikan materi, dan berdiskusi, hingga tak terasa jam pelajaran telah usai.
Murid ingin terus belajar. Siswa Anda menunjukkan rasa ingin tahu yang tinggi, mengajukan pertanyaan, dan bahkan meminta tambahan waktu belajar. Ini adalah tanda bahwa Anda berhasil membangkitkan cinta mereka terhadap ilmu pengetahuan.
Kehadiran guru dirindukan, bukan dihindari. Siswa menyukai Anda, mereka merasa nyaman dan termotivasi di kelas Anda. Mereka menantikan pelajaran Anda, bukan menghindarinya.
"Guru seperti ini yang akan diingat muridnya seumur hidup," tegasnya. "Sebaliknya, kalau murid malah bosan dan lelah saat Anda datang, itu tanda harus segera refleksi diri." Ini adalah cermin yang harus kita hadapi. Apakah kita mengajar dengan hati yang tulus, atau hanya sekadar menyelesaikan tugas? Jiwa guru yang sejati adalah kunci untuk menciptakan generasi pembelajar yang antusias, bukan generasi penghafal yang terbebani.
"Kurikulum Berbasis Cinta": Jawaban Kemenag Atas Krisis Empati
Pada bagian akhir pidatonya yang penuh inspirasi, Prof. Amien memperkenalkan sebuah konsep baru yang sangat relevan dengan tantangan pendidikan saat ini: Kurikulum Berbasis Cinta (KBC). Konsep ini tengah dikembangkan oleh Kementerian Agama sebagai respons atas krisis empati, bullying, dan kekerasan simbolik yang sayangnya masih sering terjadi di ruang-ruang kelas.
"Semua manusia berasal dari rahim, dan rahim adalah simbol kasih sayang. Maka tugas guru adalah menyebarkan cinta, bukan menciptakan ketakutan," jelasnya. Ini adalah sebuah filosofi yang mendalam. KBC tidak hanya akan menjadi pendekatan pembelajaran, tetapi juga filosofi pendidikan Islam yang lebih inklusif dan penuh sentuhan kemanusiaan.
Bayangkan sebuah sekolah di mana setiap interaksi didasari oleh kasih sayang. Di mana bullying dan diskriminasi tak punya tempat. Di mana guru dan siswa saling menghargai dan mendukung. KBC bertujuan menciptakan ekosistem pendidikan yang hangat, aman, dan memupuk rasa saling peduli. Ini bukan hanya tentang mengajarkan materi pelajaran, tetapi juga tentang membentuk pribadi yang berempati, menghargai keberagaman, dan memiliki hati yang lapang. Dokumen KBC sedang dalam tahap finalisasi dan ditargetkan segera dirilis secara resmi. Ini adalah langkah maju yang sangat kita butuhkan untuk menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berhati mulia.
Dari Sertifikasi Menuju Teladan Sejati: Sebuah Panggilan untuk Terus Berkembang
Di hadapan ratusan peserta dan akademisi, Prof. Amien mengajak semua guru untuk tidak berhenti pada sertifikasi. Ia ingin para pendidik naik kelas menjadi teladan sejati, pelita bagi generasi yang akan datang.
"Menjadi guru profesional bukan garis akhir. Tapi titik awal untuk menjadi guru yang membangun masa depan bangsa: cerdas, berkarakter, dan penuh kasih sayang," tutupnya. Ini adalah sebuah ajakan untuk terus belajar, berinovasi, dan memberikan yang terbaik. Sertifikasi adalah fondasi, tetapi pembangunan karakter dan penanaman nilai adalah puncak dari profesi guru.
Mari kita semua merenungkan pesan ini. Peran guru di era AI ini bukan sekadar mengisi kepala siswa dengan fakta dan angka yang bisa dengan mudah ditemukan di internet. Peran mereka jauh lebih dalam: mereka adalah penjaga jiwa, pembentuk moral, dan penanam benih kebaikan. Mereka adalah arsitek peradaban masa depan.
Jadi, sebagai masyarakat, mari kita berikan dukungan penuh dan apresiasi sebesar-besarnya kepada para guru profesional kita. Dan bagi Anda para guru, ingatlah selalu bahwa Anda mengemban amanah yang sangat mulia. Teruslah mengajar dengan hati, tebarkan kasih sayang, dan jadilah teladan yang tak terlupakan. Sebab, di tangan Anda, masa depan bangsa ini sedang terbentuk. Bukankah itu sebuah kehormatan yang luar biasa?