Lebih dari Sekadar Semboyan: Mengapa Kearifan Lokal Adalah Senjata Rahasia Indonesia dalam Diplomasi Global, dan Mengapa Sikap Moderat Begitu Penting di Era Ini?
![]() |
https://kemenag.go.id/nasional/stafsus-menag-sebut-kearifan-lokal-modal-diplomasi-indonesia-hqBeK |
Pernahkah Anda berpikir, apa sesungguhnya kekuatan terbesar Indonesia di mata dunia? Apakah kekayaan alamnya yang melimpah? Atau mungkin pertumbuhan ekonominya yang terus merangkak naik? Jawabannya, menurut Staf Khusus Menteri Agama, Farid F Saenong, adalah sesuatu yang jauh lebih fundamental dan berakar dalam setiap sendi kehidupan kita: kearifan lokal. Beliau dengan tegas menyatakan bahwa penghargaan terhadap kearifan lokal adalah salah satu indikator terpenting dari moderasi beragama, dan inilah yang menjadi modal diplomasi tak ternilai bagi Indonesia di panggung internasional. Ini bukan sekadar teori, melainkan sebuah fakta yang terbukti. Di tengah dunia yang seringkali terpecah oleh ekstremisme dan intoleransi, Indonesia hadir sebagai bukti nyata bahwa agama dan demokrasi mampu berjalan berdampingan secara harmonis. Lantas, mengapa ini begitu penting dan bagaimana kita bisa menjaganya? Artikel ini akan membawa Anda menyelami lebih dalam, mengapa sikap moderat bukan sekadar pilihan, melainkan sebuah keharusan, dan bagaimana kearifan lokal menjadi kunci yang membuka jalan menuju perdamaian sejati.
Dari London hingga Papua: Mengapa Kearifan Lokal Adalah Senjata Diplomasi Terkuat Kita
Cobalah Anda bayangkan, betapa luasnya negara kita, Indonesia. Jarak dari ujung Aceh hingga ke Papua itu sama jauhnya dengan jarak dari London hingga ke Turki, yang melintasi banyak negara. Di setiap jengkal wilayah kita, ada ribuan suku, bahasa, dan budaya yang berbeda. Perbedaan ini, jika tidak dikelola dengan baik, bisa menjadi sumber perpecahan. Namun, bagi Indonesia, keragaman ini justru adalah kekayaan terbesar.
Selama berabad-abad, nenek moyang kita telah menemukan cara untuk hidup berdampingan dengan damai. Mereka tidak menghilangkan perbedaan, tetapi justru merangkulnya dan menyatukannya dengan ajaran agama. Inilah yang kita sebut kearifan lokal. Ia adalah sebuah praktik hidup yang mengintegrasikan nilai-nilai luhur budaya dengan ajaran agama, menciptakan sebuah bentuk keberagamaan yang unik, otentik, dan sangat inklusif.
Farid F Saenong menegaskan poin ini dengan sangat jelas saat berbicara di hadapan para Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemerintah Provinsi Lampung. Menurutnya, jika agama dijalankan dengan arif sesuai budaya lokal, maka kita tidak hanya memperkaya praktik beragama kita sendiri, tetapi juga mengirimkan pesan yang kuat kepada dunia: bahwa Islam di Indonesia adalah Islam yang moderat, Islam yang ramah, dan Islam yang menghargai keberagaman. Ini adalah sebuah narasi yang sangat berbeda dari stereotip yang sering dilontarkan oleh media internasional. Dengan menunjukkan bahwa agama dan demokrasi bisa berjalan berdampingan, Indonesia tidak hanya membantah tudingan negatif, tetapi juga menawarkan sebuah model alternatif bagi negara-negara lain yang sedang berjuang dengan masalah serupa.
Bukankah ini sebuah modal diplomasi yang luar biasa? Ketika para pemimpin kita berbicara di forum-forum internasional, mereka tidak hanya membawa pesan politik atau ekonomi, tetapi mereka juga membawa narasi tentang sebuah bangsa yang mampu menjaga harmoni di tengah keberagaman yang begitu dahsyat. Ini adalah sebuah kekuatan lunak
yang tak bisa dibeli dengan uang, sebuah keunggulan kompetitif yang membedakan kita dari banyak negara lain.
Benteng Pertahanan Bangsa: Mengapa Moderasi Beragama Harus Kita Jaga?
Namun, modal diplomasi ini tidak datang begitu saja. Ia adalah hasil dari kerja keras, kesadaran, dan komitmen yang terus-menerus. Farid F Saenong menekankan bahwa moderasi beragama adalah benteng terpenting untuk mencegah intoleransi dan ekstremisme. Mengapa ini begitu penting, baik di kalangan sipil, ASN, maupun militer?
Dalam sejarah dunia, kita telah melihat berulang kali bagaimana ancaman kudeta atau kekacauan sosial seringkali datang dari kelompok-kelompok bersenjata atau kelompok garis keras. Kelompok-kelompok ini memanfaatkan ketidakpuasan, ketidakadilan, atau bahkan tafsir agama yang sempit untuk memecah belah persatuan. Mereka seringkali menyerang fondasi negara, mengguncang stabilitas sosial, dan mengancam demokrasi. Oleh karena itu, kata Farid, pelatihan seperti yang berlangsung di Lampung ini sangat krusial. Ini adalah investasi yang akan membekali para ASN, yang merupakan garda terdepan pelayanan publik, dengan sikap moderat. Dengan bekal ini, mereka akan memiliki kekuatan untuk mencegah tindakan intoleran dan ekstremisme, tidak hanya di lingkungan kerja mereka, tetapi juga di masyarakat.
Pilar Penyangga Utama: Peran Kemenag dan Komunitas Moderat
Stafsus Menteri Agama juga menegaskan bahwa Kementerian Agama memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga seluruh umat beragama di Indonesia, terutama umat Islam. Tanggung jawab ini bukanlah sekadar mengatur ibadah, tetapi juga memastikan bahwa praktik beragama tetap autentik, berakar pada budaya, dan menghargai kearifan lokal. Mengapa ini begitu penting? Karena ketika praktik beragama terlepas dari akarnya, ia bisa menjadi kering, dogmatis, dan rentan terhadap tafsir yang ekstrem. Sebaliknya, ketika ia terhubung dengan budaya dan kearifan lokal, ia akan menjadi lebih hidup, lebih inklusif, dan lebih moderat.
Farid juga menyoroti peran sentral kelompok moderat di Indonesia. Menurutnya, kelompok tengah inilah yang menjadi pilar utama dalam menjaga demokrasi dan stabilitas sosial. Beliau memberikan contoh yang sangat kuat: krisis 1998. Di tengah kekacauan dan potensi konflik yang dahsyat dan berkepanjangan, kekuatan moderatlah yang mampu meredamnya. Mereka adalah suara-suara rasional, suara-suara damai, yang tidak terprovokasi oleh api kebencian dan perpecahan. Mereka adalah para tokoh masyarakat, para ulama, para cendekiawan, dan orang-orang biasa yang percaya pada dialog dan toleransi.
Jika kita tidak memiliki kelompok moderat yang kuat, Indonesia akan sangat rentan. Kita bisa saja tergelincir ke dalam jurang konflik yang tiada akhir. Oleh karena itu, tugas kita semua, dari pemerintah hingga masyarakat, adalah untuk terus memperkuat kelompok tengah ini, memberikan mereka ruang untuk bersuara, dan menjadikan mereka teladan bagi generasi berikutnya.
Menjawab Tantangan Nyata: Kasus Mualaf, Napiter, dan Diskriminasi
Dalam sesi tanya jawab yang diadakan, Farid F Saenong menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang sangat relevan dan menyentuh isu-isu sensitif. Pertanyaan-pertanyaan ini tidak hanya berasal dari teori, tetapi dari pengalaman nyata di lapangan. Ia menjawab setiap pertanyaan dengan lugas dan penuh empati, menunjukkan bahwa moderasi beragama bukanlah sekadar konsep, melainkan sebuah solusi praktis untuk masalah-masalah konkret.
Ekstremisme Lintas Agama: Salah satu peserta menyinggung tentang implementasi moderasi beragama di daerah dengan latar belakang agama yang berbeda. Farid menekankan bahwa fenomena ekstremisme ada di semua agama. Ini adalah sebuah kebenaran yang harus kita akui. Ekstremisme tidak mengenal batas agama. Oleh karena itu, konten moderasi bisa dan harus disesuaikan dengan kearifan lokal masing-masing. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa umat beragama tetap seimbang, menjadi pemeluk agama yang taat sekaligus warga negara yang baik.
Pembinaan Mantan Narapidana Terorisme (Napiter): Pertanyaan lain yang sangat penting adalah tentang mekanisme pembinaan terhadap mantan napiter. Farid menekankan bahwa ini adalah tanggung jawab bersama. Pemerintah daerah, khususnya Kesbangpol, memiliki kewajiban untuk mengawal mereka agar bisa memulai hidup baru. Namun, peran masyarakat juga sangat krusial. Kita tidak boleh mengucilkan mereka. Kita harus menerima kembali mereka sebagai bagian dari bangsa ini, karena dengan penerimaan, kita bisa mengikis kebencian dan merangkul mereka kembali ke jalan yang benar.
Diskriminasi Terhadap Mualaf: Terkait kasus mualaf yang mengalami diskriminasi keluarga, Farid dengan tegas menyatakan bahwa tidak boleh ada kekerasan atas nama agama. Ia menekankan bahwa moderasi beragama hadir justru untuk memastikan bahwa siapa pun yang memilih keyakinan baru tetap dilindungi hak hidup dan martabatnya. Komunitas keagamaan dan pemerintah harus bergandengan tangan untuk menciptakan ruang yang aman bagi mereka.
Jawaban-jawaban ini menunjukkan bahwa moderasi beragama bukan hanya tentang toleransi di permukaan. Ini adalah sebuah komitmen untuk melindungi setiap individu, terlepas dari pilihan keyakinan mereka. Ini adalah sebuah janji untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap orang bisa merasa aman dan dihargai.
Tuduhan Dunia, Jawaban Indonesia: Menjadi Contoh Islam yang Damai
Pada akhirnya, Farid F Saenong juga menyentuh isu tentang bagaimana dunia internasional seringkali melabeli Indonesia sebagai negara muslim garis keras. Beliau menjawab tudingan ini dengan sangat bijak. Ia menekankan bahwa moderasi beragama adalah jawaban yang paling otentik untuk melawan narasi negatif ini.
Indonesia punya semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti "berbeda-beda tetapi tetap satu." Di Lampung, ada falsafah Sai Bumi Ruwa Jurai, yang berarti "satu bumi, dua keturunan," yang melambangkan persatuan antara pendatang dan pribumi. Farid menekankan bahwa falsafah-falsafah lokal ini adalah bukti hidup bahwa kita mampu hidup berdampingan.
Ia mengapresiasi peran lembaga-lembaga seperti Densus 88, Kesbangpol, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam menangani persoalan intoleransi. Namun, ia juga berharap dukungan anggaran terus diperkuat agar pembinaan, khususnya terhadap 56 mantan napiter yang berdomisili di Lampung, dapat berjalan optimal. Ini adalah sebuah pekerjaan yang panjang dan membutuhkan komitmen jangka panjang dari semua pihak.
Pelatihan ini, yang merupakan implementasi dari Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama, adalah sebuah langkah konkret. Pemerintah menargetkan agar para ASN di seluruh kementerian dan daerah mampu menjadi teladan dalam mengimplementasikan sikap moderat, toleran, dan berkeadilan, baik di lingkungan kerja maupun di masyarakat.
Ringkasan dan Ajakan Bertindak: Masa Depan Indonesia Ada di Tangan Kita
Kita telah melihat bahwa kearifan lokal adalah sebuah modal diplomasi yang sangat kuat bagi Indonesia. Kita juga telah memahami bahwa moderasi beragama adalah benteng yang harus kita jaga untuk mencegah ekstremisme, dan kelompok tengah adalah pilar yang menopang stabilitas sosial kita. Kita juga belajar bahwa moderasi beragama bukanlah sekadar teori, melainkan sebuah solusi praktis untuk masalah-masalah yang kita hadapi sehari-hari.
Pada akhirnya, visi besar ini tidak akan bisa terwujud tanpa partisipasi kita semua. Baik Anda seorang ASN, seorang guru, seorang mahasiswa, atau seorang ibu rumah tangga, Anda memiliki peran untuk dimainkan. Mulailah dari diri sendiri: bersikaplah moderat, hargai perbedaan, dan rangkul kearifan lokal di lingkungan Anda.
Apa yang bisa Anda lakukan hari ini untuk membumikan semangat moderasi ini di lingkungan Anda? Mungkin dengan berdialog dengan tetangga yang berbeda keyakinan, mendukung program-program toleransi, atau bahkan dengan mengapresiasi kebudayaan lokal di sekitar Anda. Mari kita buktikan kepada dunia, bahwa Indonesia bukan hanya negara besar secara geografis, tetapi juga besar dalam hati dan jiwanya.