Kenapa Harus Repot Berpikir Kritis? Bukannya Hidup Jalanin Aja?
Pernah nggak sih kamu merasa, "Buat apa sih mikir susah-susah, kritis-kritis segala? Hidup mah gini-gini aja, jalanin aja, nggak usah mikir-mikir"? Jujur, saya sendiri pernah punya pandangan yang serupa. Ada kalanya saya mikir, yah lebih baik jalanin hidup aja lah, capek banget harus mikir “a” “b” “c”.
![]() |
https://pixabay.com/id/photos/anak-laki-laki-catur-lanskap-anak-2756201/ |
Berpikir kritis memang bukan sesuatu yang semudah membalikkan telapak tangan. Agar seseorang mampu berpikir kritis, dibutuhkan energi dan juga waktu yang tidak sedikit, untuk menganalisis, meneliti, dan mencari fakta mengenai penilaian, anggapan, pandangan tertentu.
Karena itu, tidak sedikit orang-orang yang memilih ya, mendingan kita terima saja lah apa yang orang katakan kepada kita, atau penilaian yang dimiliki orang-orang di sekitar kita terhadap sesuatu. Pilihan tersebut seakan terlihat lebih mudah, dan membuat hidup kita tidak menjadi sulit.
Tetapi lantas, apakah memang pilihan tersebut merupakan sesuatu yang tepat? Dan juga, emangnya apa sih gunanya berpikir kritis itu?
Apa Itu Berpikir Kritis?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kayaknya ada bagusnya juga kalau kita membahas, apa sih yang dimaksud berpikir kritis itu?
Secara singkatnya, berpikir kritis merupakan proses menganalisis fakta untuk membuat keputusan, pertimbangan, atau mengeluarkan pendapat. Dengan kata lain, seseorang yang berpikir kritis tidak akan begitu saja membuat keputusan atau mengeluarkan pendapat tanpa didukung oleh fakta yang ada.
Contoh dari penggunaan metode berpikir kritis itu nggak harus selalu berkaitan dengan penelitian ilmu pengetahuan atau observasi ilmiah yang rumit-rumit dan sangat sulit. Penerapan dari metode tersebut bisa dengan mudah kita terapkan di kehidupan sehari-hari.
Misalnya, saat ini kamu pasti dengan mudah bisa menemukan berbagai barang-barang “ajaib”, salah satunya adalah obat yang diklaim bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit, atau membuat tubuh kita lebih segar, seperti bikin kita lebih konsentrasi belajar, dan lain sebagainya. Barang-barang semacam ini dalam hitungan detik bisa kamu temukan dengan mudah di dunia maya.
Namun, seseorang yang berpikir kritis tentu tidak akan percaya begitu saja pada iklan-iklan tersebut. Ia akan mencari tahu terlebih dahulu, baik langsung kepada para pakar yang memang punya keahlian di bidangnya, seperti dokter dan ahli obat-obatan (yang juga dikenal dengan nama ahli farmasi) mengenai kebenaran manfaat dari obat-obatan tersebut, atau dengan mencari referensi di jurnal ilmiah yang terpercaya.
Tanpa adanya proses berpikir kritis, maka setiap orang bisa saja dengan mudah termakan oleh berbagai iklan tersebut, membuang-buang uangnya, dan bukan tidak mungkin justru membuat tubuhnya menjadi lebih sakit karena mengkonsumsi barang yang dibelinya itu.
Sejarah Berpikir Kritis: Dari Sokrates hingga Copernicus
Bahasan mengenai metode berpikir kritis ini sendiri bukan sesuatu yang baru lho. Berbagai buku dan literatur yang membahas mengenai berpikir kritis bisa kita tarik ke belakang lebih dari 2000 tahun yang lalu. Iya, lebih dari dua-ribu-tahun yang lalu.
Salah satu tokoh pertama yang tercatat mengajarkan pentingnya berpikir kritis adalah Sokrates, yang lahir sekitar 470 tahun sebelum masehi. Sokrates sendiri dikenal sebagai salah satu bapak pendiri filsafat Yunani Kuno.
Sokrates memiliki pandangan bahwa, seseorang tidak bisa bergantung pada otoritas untuk mendapatkan pengetahuan. Sokrates menunjukkan banyak orang-orang yang memiliki kuasa dan posisi yang tinggi yang tidak mampu berpikir dengan baik atau pengetahuan yang sangat terbatas.
Salah satu pendiri filsafat Yunani tersebut mengajarkan bahwa, agar seseorang dapat menjalankan kehidupan yang baik, ia harus mampu berpikir dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendalam. Sangat penting bagi saya, kamu, dan kita semua untuk mampu mencari bukti dan memeriksa dengan cermat berbagai asumsi yang kita terima. Sokrates sendiri menjadi korban dari pemikiran yang dibawanya. Ia dijatuhi hukuman mati oleh juri Athena atas tuduhan merusak kalangan muda Athena, dan dieksekusi pada tahun 399 sebelum masehi.
Ajaran dari Sokrates ini tidak hanya bertahan pada masa Yunani Kuno saja lho, tapi terus diajarkan dan diaplikasikan hingga berabad-abad setelah Sokrates wafat. Para ilmuwan misalnya, menggunakan metode berpikir kritis untuk menemukan berbagai temuan baru dan memajukan peradaban.
Kamu kemungkinan besar pernah mendengar seorang ilmuwan dan matematikawan besar asal Polandia bernama Nicolaus Copernicus (1473 – 1543). Berbeda dengan dunia tempat tinggal kita sekarang, Eropa di abad ke-15 tempat Copernicus lahir merupakan tempat yang masih mempercayai bahwa Bumi merupakan pusat alam semesta, dan bukan matahari.
Pandangan mengenai Bumi sebagai pusat alam semesta di Eropa merupakan pandangan yang sangat tua lho, dan bisa ditarik hingga ke masa Yunani Kuno dua ribu tahun yang lalu. Salah satu tokoh pertama Yunani Kuno yang mengatakan bahwa Bumi merupakan pusat alam semesta adalah Ptolemy.
Namun, Copernicus tidak begitu saja menerima pandangan umum yang banyak dipercayai oleh orang-orang di sekitarnya. Pada tahun 1543, pasca ia wafat, salah satu muridnya menerbitkan manuskrip yang ditulis oleh Copernicus selama bertahun-tahun, yang berjudul De revolutionibus orbium coelestium, di mana ia menggambarkan struktur alam semesta yang baru yang berpusat di matahari, bukan di bumi. Kesimpulan tersebut ia ambil dari observasinya terhadap gerak matahari, dan berdasarkan observasi astronom-astronom lainnya. Copernicus juga menulis bahwa Bumi sebenarnya hanyalah planet biasa seperti Merkurius, Venus, Mars, Jupiter, dan Saturnus.
Buku Copernicus tersebut merupakan salah satu literatur paling penting dalam sejarah ilmu pengetahuan, karena telah mengubah cara pandang kita terhadap dunia, yang dikenal dengan nama Revolusi Copernicus. Struktur alam semesta yang berpusat di matahari ini juga diafirmasi oleh berbagai ilmuwan yang lahir setelah Copernicus, salah satunya adalah ilmuwan besar kelahiran Italia, Galileo Galilei.
Tetapi, meskipun memiliki kontribusi yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, bukan berarti Copernicus tidak memiliki kesalahan. Ilmuwan kelahiran Polandia tersebut sangat tepat menggambarkan bahwa Bumi merupakan salah satu planet seperti planet-planet lainnya yang mengelilingi matahari (meskipun ia keliru menggambarkan orbit bumi dan planet-planet lainnya dalam bentuk lingkaran).
Namun, dengan perkembangan teknologi, kita kini mengetahui bahwa matahari bukanlah pusat semesta. Tidak hanya itu, bahkan pusat galaksi kita juga bukanlah pusat semesta. Matahari merupakan satu dari sekian triliun bintang yang