Revolusi Uji Kompetensi Guru! Kemenag Dorong Reformasi PPG: Dari Menghafal Menuju Mengajar Berbasis Kasus Nyata di Kelas

Revolusi Uji Kompetensi Guru! Kemenag Dorong Reformasi PPG: Dari Menghafal Menuju Mengajar Berbasis Kasus Nyata di Kelas 

Halo, para pendidik dan calon guru hebat di seluruh Indonesia! Pernahkah Anda merasa bahwa kemampuan mengajar di depan kelas jauh lebih kompleks daripada sekadar menjawab soal pilihan ganda di lembar ujian? 

Jika ya, Anda tidak sendirian. Kita tahu, menjadi guru sejati membutuhkan lebih dari sekadar hafalan teori; dibutuhkan kemampuan untuk menghadapi dinamika kelas, memahami psikologi siswa, dan membuat keputusan cepat di tengah situasi nyata. 


https://pendis.kemenag.go.id/direktorat-perguruan-tinggi-keagamaan-islam/kemenag-siapkan-reformasi-ppg-guru-masa-kini

Kabar baik datang dari Kementerian Agama (Kemenag). Mereka menyadari tantangan ini dan siap meluncurkan reformasi besar dalam sistem Uji Kompetensi Pendidikan Profesi Guru (PPG)

Dalam sebuah langkah berani yang disoroti dalam acara Pengolahan Hasil Uji Kompetensi Mahasiswa PPG Periode II Tahun 2025 di Jakarta pada Jumat, 11 Juli 2025, Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, Amien Suyitno, menyerukan perlunya reformasi menyeluruh. Pesan ini bukan sekadar wacana. Ini adalah komitmen Kemenag untuk memastikan bahwa ujian kompetensi tidak lagi sekadar menguji hafalan. 

Mari kita bahas mengapa reformasi ini sangat vital dan bagaimana perubahan ini akan membentuk masa depan guru di Indonesia. 


Menggugat Ujian Konvensional: Bukan Tukang Hafal, tapi Pendidik 

Di hadapan para dekan LPTK, asesor, dan tim pengembang kurikulum, Dirjen Amien Suyitno dengan tegas menyatakan bahwa sistem asesmen guru masa depan harus menyentuh aspek yang lebih substantif dan kontekstual

Selama ini, menurut beliau, pola uji kompetensi mahasiswa PPG masih terjebak dalam pendekatan teknis yang terlalu sempit. Mayoritas soal bersifat teoretis, tidak relevan dengan konteks nyata di lapangan, dan belum menggambarkan kemampuan pedagogik maupun problem solving sesungguhnya. 

"Ujian guru tidak bisa disamakan dengan ujian biasa. Harus berbasis kasus nyata di kelas. Karena yang kita siapkan adalah pendidik, bukan tukang hafal,” ujar Dirjen Amien. 

Pernyataan ini adalah tamparan keras bagi sistem yang hanya menghargai memori, bukan pemahaman. Ujian guru tidak seharusnya menjadi perlombaan siapa yang paling rajin menghafal definisi atau teori, melainkan siapa yang paling siap menghadapi realitas di ruang kelas. 

Bayangkan, calon guru yang hebat di teori mungkin saja kebingungan menghadapi situasi di mana seorang siswa mengalami kesulitan belajar atau dinamika konflik antar siswa di kelas. Ujian yang ada saat ini, yang hanya berfokus pada pilihan ganda dan hafalan, berisiko meloloskan calon guru yang “pintar menjawab soal” namun kurang kompeten di lapangan. 


Visi Asesmen Berbasis Kasus: Mengukur Kesiapan Nyata 

Kemenag melihat solusi pada asesmen berbasis kasus nyata (case study). Dirjen Amien menekankan bahwa pendekatan ini lebih bermakna dan relevan untuk mengukur kemampuan sejati seorang pendidik. 

“Satu soal berbasis case study bisa lebih bermakna daripada 20 soal hafalan. Soal cerita itu justru membuka ruang berpikir dan kreativitas calon guru,” tambahnya. 

Mengapa case study lebih unggul? Karena mengajar adalah profesi yang dinamis, penuh dengan situasi tak terduga yang menuntut pemikiran kritis dan solusi kreatif. Soal berbasis kasus memaksa calon guru untuk menganalisis situasi kompleks, mengidentifikasi masalah, dan merumuskan solusi yang kontekstual. Ini tidak bisa dijawab dengan sekadar menghafal. Ini membutuhkan pemahaman mendalam tentang pedagogi dan psikologi peserta didik. 

Seorang guru ideal, menurut Dirjen Amien, adalah mereka yang mampu menghadapi dinamika kelas, memahami psikologi siswa, dan mengambil keputusan cepat dalam situasi tak terduga. Asesmen yang terlalu formal dan kaku, seperti yang sering terjadi, justru berisiko gagal mengukur kemampuan sejati guru-guru ini. 

Jadi, tujuan utama dari asesmen ini bukanlah untuk menentukan siapa yang "paling pintar menjawab soal". Melainkan untuk memastikan siapa yang paling siap mendidik dengan hati dan kepala yang utuh. Ini adalah pendekatan yang holistik, mengakui bahwa mengajar membutuhkan kecerdasan emosional dan praktikal, bukan hanya kecerdasan kognitif. 


Asesmen sebagai Cermin Reflektif, Bukan Sumber Stres 

Dirjen Pendis mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk mengubah persepsi tentang uji kompetensi itu sendiri. Ujian tidak seharusnya menjadi faktor stres yang mematikan semangat. 

“Uji kompetensi jangan jadi faktor stres yang mematikan semangat. Justru harus menjadi cermin reflektif kesiapan menjadi pendidik,” katanya. 

PPG dan uji kompetensinya seharusnya berfungsi sebagai alat diagnostik. Ini adalah kesempatan bagi calon guru untuk melihat sejauh mana mereka telah siap dan di mana mereka masih perlu berkembang. Jika ujian hanya menimbulkan ketakutan dan tekanan, dampaknya pada semangat mengajar mereka akan negatif. Namun, jika ujian menjadi pengalaman yang membangun dan mencerminkan realitas tugas mereka, hasilnya akan lebih positif dan memberdayakan. 

Mendorong asesmen yang lebih relevan juga berarti mengubah siapa yang terlibat dalam penyusunan instrumennya. Dirjen Amien menyarankan agar penyusunan instrumen asesmen juga melibatkan guru-guru praktik dan pelaku pendidikan, bukan hanya akademisi. Langkah ini penting untuk memastikan bahwa soal-soal yang diujikan benar-benar relevan dengan dunia nyata di kelas. Pengalaman praktis dari guru di lapangan akan memastikan uji kompetensi mencerminkan tantangan sehari-hari yang dihadapi oleh pendidik.  


Transformasi PPG dan Masa Depan Guru 

Pernyataan Dirjen ini memperkuat arah transformasi PPG yang tengah digagas Kementerian Agama. Selain pembaruan kurikulum dan sistem pelatihan, aspek evaluasi juga menjadi perhatian serius. Pemerintah ingin memastikan bahwa lulusan PPG tidak hanya memiliki sertifikat, tetapi juga kemampuan mengajar yang nyata dan berdaya ubah

Ini adalah komitmen untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang lebih kuat, di mana guru-guru baru benar-benar siap dan mampu menginspirasi. PPG bukan sekadar jembatan menuju sertifikasi, melainkan awal dari pengabdian yang tulus. 

“PPG bukan akhir dari proses belajar, tapi awal dari pengabdian sebagai guru. Maka uji kompetensinya pun harus menggambarkan dunia tempat mereka akan bertugas,” pungkasnya. 

Dengan reformasi ini, Kemenag sedang membangun pondasi untuk guru-guru masa depan yang tangguh, adaptif, dan siap menghadapi kompleksitas di ruang kelas. Ini adalah langkah yang akan membawa dampak positif jangka panjang bagi kualitas pendidikan di Indonesia.

SiennaGrace

Selamat datang di DidikDigital.com! Kami hadir sebagai sahabat setia para pendidik. Temukan beragam artikel dan sumber daya: dari modul ajar praktis, update kurikulum terbaru (Dikdasmen & Kemenag), hingga tips meningkatkan kualitas pengajaran dan informasi asuransi yang melindungi profesi guru. Edukasi terbaik, kesejahteraan terjamin!

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama