Jembatan Mati, Jiwa yang Hilang: Mengapa Kurikulum Sastra Kita Membekukan Kata, dan Bagaimana Kita Menghidupkannya Kembali?

Jembatan Mati, Jiwa yang Hilang: Mengapa Kurikulum Sastra Kita Membekukan Kata, dan Bagaimana Kita Menghidupkannya Kembali? 

https://kemenag.go.id/opini/kurikulum-yang-membekukan-sastra-dari-jiwa-hidup-ke-teks-mati-Rn77C


Bayangkan kembali masa-masa sekolah Anda. Ketika Anda berada di kelas sastra, apa yang Anda rasakan? Apakah Anda menemukan sebuah ruang imajinasi yang membebaskan, di mana Anda bisa terhanyut dalam kisah-kisah luar biasa, merasakan duka para tokoh, atau merenungkan makna mendalam sebuah puisi? Atau, justru yang Anda temui adalah daftar panjang unsur intrinsik yang harus dihafalkan, lembar soal pilihan ganda tentang majas dan rima, serta tugas-tugas analisis yang terasa kering dan tanpa jiwa? Jika pengalaman Anda lebih mirip dengan yang kedua, Anda tidak sendirian. Fenomena ini, yang sayangnya menjadi kondisi nyata di banyak sekolah di Indonesia, mencerminkan sebuah krisis: kurikulum sastra kita telah membekukan jiwa sastra. Ia mengubah sebuah pengalaman batin yang hidup menjadi sekadar teks mati yang hanya berfungsi untuk diuji, dinilai, dan dilaporkan. Artikel ini hadir untuk menegaskan sebuah kebenaran yang sering diabaikan: pendidikan sastra yang terlalu formalistik dan berorientasi pada pengukuran justru menghilangkan esensi sastra itu sendiri. Namun, kita tidak akan berhenti pada kritik. Kita akan bersama-sama mencari jalan keluar, sebuah kurikulum yang hidup, yang memberi ruang bagi imajinasi, refleksi, dan kemanusiaan. 


Mengapa Sastra Kehilangan Jiwanya? Mengkritik Kurikulum yang Terlalu Kaku 

Ada sebuah masalah fundamental yang menggerogoti pendidikan sastra kita, dan itu adalah reduksi sastra menjadi materi kognitif belaka. Kita diajarkan untuk memperlakukan sastra seperti objek di laboratorium: membedah, menganalisis, dan mengidentifikasi bagian-bagiannya. Siswa didorong untuk menghafal definisi majas, mengenali alur cerita, dan menemukan konflik tanpa pernah benar-benar merasakan getaran emosional yang ada di dalamnya. 

Apakah Anda pernah diminta untuk membaca sebuah puisi, lalu tugas Anda hanyalah mencari majas, rima, dan struktur baitnya? Proses ini, yang seolah-olah ilmiah, sesungguhnya adalah pembunuhan terhadap jiwa puisi itu sendiri. Kita tidak lagi merenungkan makna di balik metafora, tidak lagi menyelami emosi yang tersirat, dan tidak lagi merasakan irama kata yang seharusnya menggetarkan hati. Sastra, yang seharusnya menjadi medium untuk pengalaman batin, berubah menjadi sebuah anatomi yang dingin dan mati. Proses ini menghasilkan sebuah persepsi yang sangat keliru: bahwa sastra hanyalah sebuah “bahan ujian” yang harus dikuasai untuk mendapatkan nilai, bukan sebuah sumber kehidupan batin yang mengasah kepekaan, empati, dan imajinasi kita. 

Pendekatan ini sangat bertentangan dengan pemikiran seorang filsuf pendidikan ternama, Paulo Freire. Dalam karyanya yang monumental, Pedagogy of the Oppressed, Freire mengkritik keras pendidikan yang kaku, yang ia sebut sebagai banking education. Model ini menempatkan siswa sebagai “bank” kosong yang pasif, yang hanya berfungsi untuk menerima pengetahuan yang ditransfer oleh guru. Di dalam kelas sastra yang beku ini, guru menjadi bankir yang menabung definisi dan formula, sementara siswa menjadi penerima pasif yang hanya menyalin dan menghafal. Akibatnya, kreativitas dan kemampuan berpikir kritis siswa membeku. Sastra tidak lagi menjadi alat untuk memberdayakan, melainkan sebuah instrumen yang membatasi. 

Apa dampaknya di Indonesia? Dampaknya sangat nyata dan terasa di mana-mana. Kita menghasilkan generasi yang mungkin mampu menjawab soal-soal tentang unsur intrinsik novel Laskar Pelangi, misalnya. Mereka bisa menjelaskan siapa tokoh utamanya, seperti Ikal, alur ceritanya, dan konflik sosial yang ada di dalamnya. Namun, coba tanyakan kepada mereka, "Apa perasaan yang kamu rasakan ketika membaca kisah perjuangan mereka?" atau "Bagaimana pesan moral dan spiritual dari solidaritas mereka menyentuh hatimu?" Di situlah kita akan menemukan kegagalan. Mereka mungkin "melek teks" tetapi "buta jiwa," karena kurikulum formal kita gagal untuk menjembatani antara kata-kata di halaman dan pengalaman batin di dalam diri siswa. Sastra, yang seharusnya menjadi jendela untuk memahami dunia dan diri sendiri, justru menjadi tembok yang menghalangi.  


Perangkap Nilai: Mengapa Kita Harus Menghargai Proses, Bukan Sekadar Hasil?  

Masalah lain yang tak kalah mendasar adalah orientasi pendidikan sastra kita yang lebih menekankan hasil, angka, dan sertifikat, ketimbang proses internal siswa. Di dalam sistem yang berorientasi pada nilai, siswa didorong untuk menghafal, menyusun laporan analisis formalistik, dan menjawab soal-soal agar mereka lulus dan mendapatkan nilai yang baik. Pertanyaannya, di mana letak pengalaman membaca dengan rasa, menulis kreatif dengan jiwa, dan berdiskusi tentang makna hidup?

Ketika kita mengabaikan proses, kita menciptakan sebuah paradoks yang aneh. Siswa mungkin mampu memberikan jawaban yang tepat tentang sebuah novel, tetapi mereka gagal untuk menangkap pesan moral dan spiritual di dalamnya. Mereka tahu bahwa tokoh Ikal berjuang keras untuk sekolah, tetapi mereka tidak bisa merasakan semangat dan keteguhan hati yang menggerakkan perjuangannya. Mereka tahu tentang penderitaan tokoh, tetapi mereka tidak bisa merasakan empati dan kepedihan yang sama. 

Freire mengajarkan kita tentang pentingnya praksis: sebuah proses yang menggabungkan refleksi dengan tindakan nyata. Dalam konteks sastra, praksis ini berarti membaca dan menulis tidak hanya untuk memenuhi kriteria akademis, tetapi juga untuk membentuk kepekaan estetis, empati, dan pemahaman yang lebih dalam tentang kemanusiaan. Namun, orientasi hasil yang kita anut justru menghasilkan siswa yang melek teks tetapi buta jiwa. Mereka menghafal definisi, tetapi tidak pernah menyentuh kehidupan batin mereka sendiri atau dunia sosial di sekitar mereka. 

Coba perhatikan kembali praktik di sekolah menengah di Indonesia. Seringkali, guru meminta siswa untuk membuat analisis novel atau puisi dalam bentuk tabel. Kolom-kolom diisi dengan: tokoh, alur, latar, amanat. Proses ini, yang bersifat mekanis dan formalistik, menghilangkan semua ruang untuk merasakan dan merefleksikan. Tidak ada sesi membaca puisi secara lantang untuk merasakan irama kata, tidak ada kegiatan menulis puisi berdasarkan pengalaman pribadi, dan tidak ada ruang bagi diskusi mendalam yang mengaitkan teks dengan kehidupan nyata. Sastra berubah menjadi kumpulan definisi dan formula yang kaku, sebuah resep yang harus dihafal untuk mendapatkan nilai, bukan sebuah peta untuk menjelajahi jiwa. 


Hilangnya Dimensi Kemanusiaan: Mengapa Sastra adalah Jembatan Menuju Empati dan Spiritualitas? 

Pada dasarnya, sastra adalah jalan untuk mengasah empati. Melalui narasi, kita bisa melangkah ke dalam sepatu orang lain, merasakan penderitaan mereka, memahami kompleksitas kehidupan yang mereka jalani, dan merenungkan misteri eksistensi manusia. Filsuf Martha Nussbaum bahkan menekankan bahwa pendidikan sastra memegang peran sentral dalam menumbuhkan empati, yang merupakan fondasi dari demokrasi dan kemanusiaan. 

Sayangnya, kurikulum formal kita seringkali mengabaikan dimensi yang tidak bisa diukur dengan tes objektif ini. Misalnya, sebuah cerpen tentang kemiskinan atau ketidakadilan sosial hanya digunakan untuk mengidentifikasi tokoh, konflik, atau alur. Ia tidak pernah dijadikan alat untuk merasakan penderitaan sosial yang dialami oleh tokoh-tokohnya. Analisis semacam ini memisahkan siswa dari pengalaman batin yang seharusnya mereka alami, sehingga sastra kehilangan potensinya sebagai alat transformasi emosional dan spiritual

Di sisi lain, bayangkan sebuah kelas di mana pendidikan sastra mengintegrasikan dimensi empati dan spiritualitas. Siswa tidak hanya membaca, tetapi juga menulis jurnal reflektif setelah membaca sebuah puisi. Mereka tidak hanya menjawab soal, tetapi juga berdiskusi tentang nilai-nilai kemanusiaan yang ada dalam sebuah teks. Mereka tidak hanya menganalisis, tetapi juga mengekspresikan pengalaman membaca mereka melalui karya kreatif, seperti lukisan, musik, atau bahkan drama. Dengan cara ini, sastra tidak lagi menjadi objek akademik yang mati, melainkan sebuah medium yang hidup untuk pengembangan batin. Hilangnya dimensi ini berarti kita tidak hanya membekukan teks, tetapi juga membatasi pertumbuhan moral dan spiritual siswa. 

Lebih jauh, pengalaman membaca yang hidup juga mendorong kesadaran diri. Siswa yang dihadapkan pada pengalaman batin tokoh dalam novel atau puisi akan mulai merefleksikan diri mereka sendiri: nilai-nilai apa yang mereka pegang? Apa kekurangan yang mereka miliki? Apa ambisi yang mereka kejar? Dan bagaimana mereka bisa menjadi pribadi yang lebih berempati? Tanpa kurikulum yang memungkinkan refleksi ini, sastra kehilangan peran pentingnya dalam pengembangan karakter dan spiritual. 


Bukan Hanya Tanggung Jawab Kurikulum: Peran Guru dan Komunitas dalam Membebaskan Sastra 

Jika kurikulum formal adalah masalahnya, lantas siapa yang bisa menjadi solusinya? Guru memegang peran strategis yang sangat besar. Guru yang hanya menekankan analisis formalistik tanpa memberikan ruang bagi ekspresi kreatif, cenderung melahirkan generasi yang “melek teks tapi buta jiwa.” Sebaliknya, guru yang berani untuk keluar dari kurikulum kaku dan mendorong eksplorasi imajinatif, diskusi kritis, dan refleksi pribadi akan membantu siswa merasakan kehidupan batin dalam sebuah teks. 

Selain guru, komunitas belajar juga dapat memainkan peran penting. Di luar kelas formal, komunitas sastra—seperti klub menulis, forum baca puisi, atau kelompok diskusi literasi—menawarkan ruang yang sangat dibutuhkan bagi siswa untuk mengekspresikan pemahaman dan perasaan mereka terhadap teks. Di Indonesia, komunitas-komunitas seperti Komunitas Katakata di Sumatera Utara, Tatkala di Bali, Lembaga Kajian Nusantara Raya di Purwokerto, dan masih banyak lagi, menunjukkan bahwa pembelajaran sastra yang kontekstual, partisipatif, dan berbasis pengalaman hidup mampu membangkitkan kembali jiwa sastra yang hilang. Di dalam komunitas ini, siswa tidak hanya membaca dan menulis, tetapi juga berdiskusi, merefleksikan, dan mengaitkan teks dengan pengalaman spiritual dan sosial mereka. 

Pengalaman ini menegaskan kembali bahwa sastra bukanlah sekadar objek akademik. Ia adalah medium dialog batin, sarana ekspresi kreatif, dan jendela untuk memahami realitas sosial. Kurikulum formal yang membatasi kegiatan ini hanya pada aspek kognitif gagal untuk mengintegrasikan dimensi sosial, emosional, dan spiritual yang esensial. 


Menghidupkan Kembali Sastra: Paradigma Kurikulum Alternatif yang Membebaskan Jiwa 

Lalu, apa yang harus kita lakukan? Bagaimana kita mengubah kurikulum sastra agar menjadi teks hidup

Pertama, kurikulum harus menekankan pengalaman membaca dan menulis sebagai proses reflektif. Setiap teks sastra perlu dibaca tidak hanya untuk memahami alur atau tokoh, tetapi juga untuk merasakan emosi, menangkap pesan moral, dan mengeksplorasi makna simbolik yang terkandung di dalamnya. 

Kedua, kita harus menggeser orientasi penilaian dari hasil ke proses. Alih-alih hanya menilai jawaban yang benar atau salah, guru dapat menilai refleksi pribadi siswa setelah membaca puisi, karya kreatif yang mereka tulis, atau diskusi kelompok tentang isu-isu sosial yang relevan dengan teks. Dengan cara ini, nilai tidak lagi menjadi tujuan utama, melainkan indikator partisipasi dalam proses pembelajaran batin. 

Ketiga, kita harus memperkuat komunitas belajar di luar sekolah. Melalui workshop, diskusi terbuka, atau pertunjukan kreatif, siswa belajar mengaitkan teks dengan kehidupan nyata. Interaksi sosial dan pengalaman kolektif ini menumbuhkan empati, kreativitas, dan kesadaran spiritual, yang semuanya tidak bisa dicapai hanya melalui tes formal semata. 

Paradigma kurikulum semacam ini sejalan dengan gagasan Nussbaum tentang pendidikan humanistik, yang menekankan pengembangan kemampuan kritis, empati, dan rasa tanggung jawab sosial. Sastra menjadi medium untuk menumbuhkan kesadaran global dan kemanusiaan, bukan sekadar alat evaluasi akademik. 


Ringkasan dan Ajakan Bertindak: Mengembalikan Sastra sebagai Jembatan Kemanusiaan 

Sastra yang hanya diajarkan sebagai teks formal akan kehilangan jiwanya. Kurikulum yang membekukan sastra menjadi teks mati menutup ruang bagi pengalaman batin, refleksi kritis, dan transformasi spiritual siswa. Pendidikan sastra yang hidup menuntut integrasi pengalaman membaca, menulis kreatif, refleksi batin, dan interaksi sosial. Dengan pendekatan semacam ini, sastra kembali menjadi medium transformasi kemanusiaan: bukan sekadar teks untuk diuji, tetapi jendela untuk memahami diri, masyarakat, dan dunia. 

Dalam konteks Indonesia, reformasi kurikulum ini bukan sekadar isu pedagogis, tetapi juga isu kemanusiaan dan spiritual. Melalui pendidikan sastra yang hidup, generasi muda dapat menumbuhkan empati, kepekaan sosial, dan kesadaran spiritual—nilai-nilai yang krusial untuk membangun masyarakat yang beradab, kritis, dan humanis. Sebaliknya, kurikulum yang membekukan sastra menutup peluang ini, menjadikan generasi melek teks tetapi kehilangan jiwa. 

Reformasi kurikulum yang menghidupkan kembali sastra bukan pilihan, melainkan kebutuhan. Sudah saatnya kita bergerak dari paradigma yang menganggap sastra sebagai kumpulan definisi dan formula, menuju paradigma yang melihatnya sebagai sebuah medium hidup yang membawa manusia dari pemahaman kognitif ke pengalaman batin, dari teks mati ke jiwa yang hidup. 

Apa yang bisa kita lakukan hari ini untuk menghidupkan kembali jiwa sastra di kelas-kelas kita, di komunitas kita, dan di dalam diri kita?

SiennaGrace

Selamat datang di DidikDigital.com! Kami hadir sebagai sahabat setia para pendidik. Temukan beragam artikel dan sumber daya: dari modul ajar praktis, update kurikulum terbaru (Dikdasmen & Kemenag), hingga tips meningkatkan kualitas pengajaran dan informasi asuransi yang melindungi profesi guru. Edukasi terbaik, kesejahteraan terjamin!

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama