Pribadi yang Dirindu, Kepemimpinan yang Dicari: Mengapa Teladan Rasulullah SAW Adalah Peta Jalan Abadi di Era Modern?

Pribadi yang Dirindu, Kepemimpinan yang Dicari: Mengapa Teladan Rasulullah SAW Adalah Peta Jalan Abadi di Era Modern? 

https://kemenag.go.id/opini/pribadi-yang-dirindu-refleksi-maulid-nabi-saw-s5t0F


Pernahkah Anda bertanya-tanya, apa yang sesungguhnya membuat sebuah sosok pemimpin tidak hanya dihormati, tetapi juga dirindukan? Apa yang membedakan otoritas kekuasaan yang sementara dengan pengaruh yang abadi? Di tengah dunia yang serba cepat, di mana jabatan dan popularitas seringkali menjadi ukuran utama, kita mungkin merasa haus akan teladan sejati—sosok yang kepemimpinannya tidak hanya didasarkan pada posisi, tetapi pada integritas dan hati nurani. Jika Anda mencari sosok itu, jawabannya telah hadir lebih dari 14 abad lalu. Dia adalah seorang pemuda yang kebijaksanaannya melampaui usianya, kejujurannya menjadi perbincangan di segenap penjuru negeri, dan kelembutan hatinya mampu meluluhkan hati setiap orang yang mengenalnya. Ya, dia adalah Muhammad ibn Abdullah SAW. Jauh sebelum dinobatkan sebagai Nabi, padanya telah terkumpul sifat-sifat utama yang membuat Syaikh Ja'far bin Hasan al-Barzanji menggubah syair indah, "Dia manusia, tetapi tidak seperti manusia pada umumnya; dia seperti permata di antara bebatuan (Muhammadun basyarun lâ ka al-basyari, bal huwa ka al-yâquti bain al-hajari)." Mari kita selami lebih dalam, mengapa sosok agung ini adalah pribadi yang dirindu, dan bagaimana kita dapat menghidupkan kembali teladan kepemimpinannya di era modern. 


Sebuah Masterclass Kepemimpinan: Kisah Peletakan Hajar Aswad yang Mengubah Konflik  Menjadi Kemenangan 

Mungkin kita semua pernah mendengar kisah tentang pemugaran Ka'bah. Sebuah peristiwa yang terlihat sederhana, tetapi menyimpan pelajaran kepemimpinan yang luar biasa. Kisahnya dimulai ketika kabilah Quraisy di Mekah bersepakat untuk memugar dan membangun kembali struktur Ka'bah yang mulai rapuh. Setiap klan bertanggung jawab atas bagian dinding tertentu, dan semuanya berjalan lancar, hingga sebuah masalah besar muncul. 

Persoalannya adalah: siapa yang paling berhak untuk meletakkan kembali Hajar Aswad ke tempatnya semula? Hajar Aswad hanya satu, sementara ada banyak klan yang terlibat. Meletakkannya adalah sebuah kebanggaan dan kehormatan tertinggi. Perdebatan pun memanas. Ketegangan meningkat. Konflik internal hampir meletus, mengancam persatuan yang telah mereka bangun. Sebagian besar orang mungkin akan melihat ini sebagai jalan buntu, sebuah situasi di mana hanya ada satu pemenang dan banyak pihak yang merasa dikalahkan. Namun, di tengah kekacauan itu, muncul sebuah solusi yang tidak terduga. 

Seorang tetua mengusulkan sebuah sayembara: siapa pun yang pertama kali masuk ke dalam Masjidil Haram pada pagi hari berikutnya, dialah yang berhak menjadi penengah. Semua pihak setuju. Dan atas kehendak Allah SWT, orang yang pertama kali memasuki masjid itu adalah Muhammad ibn Abdullah SAW. Begitu melihatnya, semua orang berlapang dada. Tidak ada yang memprotes, tidak ada yang keberatan. Mengapa? Karena mereka sudah mengenalnya. Mereka serentak berseru, "Hadzâ al-amîn, radlîna bihî hakaman, Inilah al-Amin (orang yang terpercaya), kami rela dia yang menjadi penengah." Gelar "al-Amin" bukanlah gelar kebangsawanan yang diberikan oleh siapapun, melainkan sebuah predikat yang diberikan langsung oleh masyarakat, sebagai penghargaan atas integritas dan kejujuran pribadinya dalam setiap interaksi, baik dalam perdagangan maupun kehidupan sosial. 

Kini, bola ada di tangan Muhammad. Dengan kewenangan yang mutlak, beliau bisa saja mengangkat dan meletakkan Hajar Aswad seorang diri, mengambil kehormatan itu untuk dirinya sendiri. Tetapi, beliau justru melakukan sesuatu yang luar biasa. Beliau tidak egois. Beliau tidak mementingkan diri sendiri atau klannya. Sebaliknya, beliau meminta selembar kain lebar untuk dibentangkan. Kemudian, beliau meminta setiap pimpinan klan untuk memegang ujung kain tersebut. Dengan penuh kehati-hatian, beliau mengangkat dan meletakkan Hajar Aswad ke atas kain. 

Seluruh pimpinan klan pun mengangkat ujung kain yang mereka pegang dan bergerak bersama-sama mendekati Ka'bah. Setelah sampai di dekat tempatnya, Muhammad mengambil Hajar Aswad dari atas kain dan meletakkannya di tempat semula. Semua orang merasa lega. Semua mendapatkan peran dan kehormatan yang mereka idam-idamkan. Tidak ada yang diistimewakan dan tidak ada pula yang dikesampingkan. Dengan satu tindakan bijaksana, beliau tidak hanya menyelesaikan konflik, tetapi juga memperkuat kohesi sosial. Ini adalah sebuah masterclass kepemimpinan yang mengutamakan inklusivitas, empati, dan kebijaksanaan di atas segalanya. 


Integritas dan 'Referent Power': Kekuatan Pengaruh yang Abadi 

Dari kisah ini, kita bisa mengambil dua pelajaran penting tentang kepemimpinan yang abadi. Pelajaran pertama adalah bahwa kepatuhan dan kepercayaan masyarakat kepada seorang pemimpin tidak lahir dari paksaan, tetapi dari integritas pribadinya. Kaum Quraisy legawa menerima keputusan Muhammad bukan semata karena dia memenangkan sayembara, tetapi karena mereka sudah mengenalnya sebagai sosok yang jujur dan berintegritas. Tindakan bijak beliau dalam melibatkan semua klan semakin menebalkan gelar “al-Amin” yang sudah melekat padanya. 

Pelajaran kedua adalah tentang jenis kekuatan atau pengaruh yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Dalam ilmu manajemen, kekuatan ini dikenal sebagai 'referent power'. Konsep yang pertama kali digagas oleh John R.P. French dan Bertram Raven pada tahun 1959 ini menjelaskan bahwa pengaruh seseorang muncul karena dia memiliki kharisma pribadi yang kuat. Kepatuhan masyarakat kepadanya bukan karena takut dihukum atau diberi hadiah, tetapi karena mereka mengagumi, menghormati, dan menjadikan sosoknya sebagai teladan. 

Mengapa 'referent power' ini begitu penting? 

Lebih Permanen: Kekuatan yang berasal dari jabatan (legitimate power), hadiah (reward power), hukuman (coercive power), atau bahkan keahlian teknis (expert power) bersifat sementara. Jabatan bisa dicopot, hadiah bisa habis, ancaman bisa berbalik. Tetapi, pengaruh yang lahir dari kharisma dan keteladanan bersifat permanen. Ia akan terus ada selama sang pemimpin masih memegang standar moral yang tinggi. 

Menciptakan Loyalitas: Pribadi dengan 'referent power' mampu menghadirkan rasa nyaman dan kerinduan dari para pendukungnya. Mereka tidak hanya menggerakkan, tetapi juga menginspirasi. Mereka tidak hanya memimpin, tetapi juga menjadi contoh. Inilah yang membuat mereka dicintai dan dirindukan, bahkan setelah mereka tiada. 

Ketika Muhammad ibn Abdullah menyelesaikan masalah Hajar Aswad, beliau menggunakan 'referent power'-nya untuk menggerakkan seluruh pimpinan klan. Mereka tidak mematuhinya karena takut atau berharap imbalan, tetapi karena mereka percaya sepenuhnya pada kejujuran dan kebijaksanaannya. Ini adalah inti dari kepemimpinan yang dicari, yang tidak hanya menggerakkan tangan, tetapi juga hati. 


Empati, Altruisme, dan Harapan: Membangun Kohesi Sosial dengan Kasih Sayang 

Selain integritas, sosok Muhammad SAW juga dirindukan karena empati dan kasih sayangnya yang tak terbatas. Beliau bukan hanya seorang pemimpin yang cerdas secara strategis, tetapi juga seorang manusia yang penuh dengan empati. Dalam kisah Hajar Aswad, beliau menyadari betul situasi ini. Di dalam masyarakat tribal yang egosentris, kehormatan suku dan klan adalah segalanya. Menyadari hal ini, beliau mengambil keputusan yang merangkul dan menghargai semua pihak. Dengan satu tindakan, beliau mampu meluluhkan ego mereka dan membentuk kohesi sosial dari potensi konflik. 

Empati dan kasih sayang ini tidak hanya terbatas pada klan-klan yang berkonflik. Ia adalah sebuah sifat yang terukir dalam setiap tindakannya. Kisah tentang seorang wanita tua yang seringkali melempari beliau dengan kotoran dan menghinanya adalah salah satu contoh yang paling menyentuh. Ketika wanita itu sakit, Nabi tidak membalas dendam. Sebaliknya, beliau justru datang menjenguknya. Tindakan ini tidak hanya mengejutkan, tetapi juga menunjukkan tingkat altruisme yang luar biasa—memberi tanpa pamrih. Ia adalah sebuah bukti bahwa kasih sayang beliau tidak mengenal batas dan tidak memandang siapa yang dihadapi. 

Rasa kasih sayang ini juga terlihat jelas pada saat Fathu Makkah (penaklukan kota Mekah). Kaum muslimin telah lama disiksa dan diusir dari kota itu oleh kaum Kafir Quraisy. Dalam suasana ketakutan akan balas dendam, Nabi SAW menunjukkan sikap yang luar biasa. Beliau menjamin keamanan penduduk Mekah yang mengikuti seruannya untuk berdiam diri di rumah masing-masing atau masuk ke dalam rumah Abu Sufyan, mantan musuh besar beliau. Jaminan keamanan ini memberikan harapan baru bagi mereka, yang sebelumnya hidup dalam ketakutan. 

Pada akhirnya, apa yang membuat sosok Nabi Muhammad SAW begitu dirindukan adalah kemampuan beliau untuk menjadi seorang pribadi yang mampu memberikan rasa aman dan harapan. Jabatan hanya sementara, hadiah dan pemberian tidak akan bisa selamanya, dan ancaman untuk menaklukkan orang pada saatnya akan berbalik. Yang tersisa adalah kekuatan kepribadian yang baik, yang mampu meluluhkan hati, menyatukan perbedaan, dan memberikan harapan baru. 


Menuju Akhlak Mulia: Mengapa Sosok Ini Relevan Sepanjang Masa? 

Di tengah dunia yang serba instan, di mana media sosial dan pencitraan seringkali menggantikan substansi, sosok Nabi Muhammad SAW adalah sebuah pengingat bahwa kepribadian adalah segalanya. Beliau tidak hanya mengajarkan tentang pentingnya integritas, empati, dan kasih sayang, tetapi juga menghidupkan nilai-nilai itu dalam setiap tindakan kecilnya. Beliau adalah sebuah teladan yang tidak pernah usang, yang relevan untuk setiap zaman dan setiap kondisi. 

Pada akhirnya, Nabi SAW adalah sebuah bukti nyata bahwa pemimpin yang paling efektif bukanlah yang memiliki kekuasaan paling besar, tetapi yang memiliki akhlak paling mulia. Hal ini sesuai dengan sabdanya, "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia" (HR Bukhari dari Abu Hurairah). 

Ringkasan dan Ajakan Bertindak: Menjadi Pribadi yang Dirindu 

Kisah Maulid Nabi adalah sebuah panggilan untuk merenungkan kembali esensi kepemimpinan. Kita telah melihat bahwa: 

Kepemimpinan sejati berakar pada integritas, empati, dan kebijaksanaan, seperti yang dicontohkan dalam kisah peletakan Hajar Aswad. 

Pengaruh yang abadi datang dari 'referent power', kekuatan karisma yang lahir dari keteladanan, bukan dari jabatan atau kekuasaan. 

Nabi SAW adalah sosok yang altruistis dan mampu memberikan rasa aman serta harapan kepada semua orang, bahkan kepada musuh-musuhnya. 

Pada akhirnya, kita semua memiliki potensi untuk menjadi "pribadi yang dirindu" di lingkungan kita masing-masing. Kita tidak harus menjadi pemimpin formal untuk menggerakkan orang lain. Cukuplah kita menjadi pribadi yang jujur, amanah, empatik, dan bijaksana. 

Jadi, apa langkah pertama yang akan Anda ambil hari ini untuk menghidupkan kembali akhlak mulia dalam setiap interaksi Anda?

SiennaGrace

Selamat datang di DidikDigital.com! Kami hadir sebagai sahabat setia para pendidik. Temukan beragam artikel dan sumber daya: dari modul ajar praktis, update kurikulum terbaru (Dikdasmen & Kemenag), hingga tips meningkatkan kualitas pengajaran dan informasi asuransi yang melindungi profesi guru. Edukasi terbaik, kesejahteraan terjamin!

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama