Menyibak Tabir Waktu: Mengapa Sidang Isbat Adalah Perpaduan Sains, Syariat, dan Persaudaraan Umat
![]() |
https://kemenag.go.id/nasional/memahami-sejarah-hisab-rukyat-jadi-metode-penetapan-awal-hijriah-di-indonesia-55C3F |
Apakah Anda pernah bertanya-tanya, bagaimana sebuah negara sebesar Indonesia, dengan jutaan umat Islam yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, bisa memulai bulan suci Ramadan atau merayakan Idul Fitri secara serentak? Di balik momen kebersamaan yang kita rasakan, ada sebuah proses panjang dan rumit yang menggabungkan tradisi kuno, ilmu pengetahuan modern, dan komitmen untuk menjaga persatuan.
Proses ini bukan sekadar melihat bulan sabit tipis di langit malam. Ia adalah sebuah perjalanan sejarah yang melibatkan ulama, ilmuwan, dan pemerintah. Sebuah tradisi yang telah hidup selama berabad-abad, kini bertransformasi menjadi sebuah sistem yang terstruktur, ilmiah, dan transparan. Pada Sabtu, 30 Agustus 2025, Tim Hisab Rukyat Kementerian Agama (Kemenag) dalam kegiatan Sinkronisasi Hisab Kalender Hijriah Indonesia di Kota Semarang, membuka wawasan kita tentang perjalanan yang luar biasa ini.
Mari kita bersama-sama memasuki wacana ini. Kita akan melihat bagaimana sejarah hisab dan rukyat membentuk metode penetapan awal bulan hijriah di Indonesia, mengapa Sidang Isbat menjadi sebuah proses yang sangat penting, dan bagaimana teknologi modern kini memainkan peran krusial dalam menyatukan umat.
Akar Tradisi: Hisab Rukyat Sejak Era Kesultanan
Sebelum Indonesia merdeka, praktik hisab (perhitungan) dan rukyat (pengamatan) sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan umat Islam di nusantara. Tradisi ini bukan hal baru. Sejarah mencatat bahwa sejak era Kesultanan Demak, praktik ini sudah dilakukan oleh para ulama dan ahli falak. Mereka berupaya menengahi perbedaan yang muncul di kalangan masyarakat muslim.
Pernahkah Anda mendengar tentang Tumenggung Ario Purbaningrat? Beliau adalah salah satu tokoh penting di masa itu. Ia menginisiasi halaqah atau pertemuan ulama untuk menyatukan metode perhitungan dan pengamatan. Setelah perhitungan dan pengamatan selesai, hasilnya akan disampaikan kepada bupati untuk diumumkan. Pengumuman ini tidak hanya disampaikan melalui lisan, tetapi juga melalui ritual yang meriah, seperti menabuh bedug dan menyalakan mercon.
Tradisi yang kaya ini tidak pernah pudar. Hingga saat ini, jejak-jejaknya masih kita temukan dalam berbagai ritual keagamaan. Ambil contoh ritual Ndandangan di Kudus. Ritual ini sudah berlangsung sejak tahun 1549, dan masih menjadi bagian penting dalam menyambut datangnya bulan Ramadan. Tradisi-tradisi inilah yang membentuk fondasi kuat dari praktik hisab dan rukyat di Indonesia. Mereka adalah bukti bahwa jauh sebelum negara hadir, masyarakat kita sudah memiliki sistem sendiri untuk mengatur urusan keagamaan secara mandiri.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman, tradisi ini membutuhkan sebuah kerangka kerja yang lebih terstruktur dan formal.
Dari Tradisi ke Regulasi: Lahirnya Sistem Sidang Isbat
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, pemerintah menyadari perlunya sebuah lembaga resmi yang bertanggung jawab atas urusan keagamaan, termasuk penetapan awal bulan hijriah. Kewenangan ini secara resmi berada di bawah Kemenag.
Pada tahun 1972, melalui Direktorat Bimbingan Badan Peradilan Agama (Ditbinbapera), Kemenag membentuk Badan Hisab Rukyat. Pembentukan badan ini adalah sebuah langkah revolusioner. Badan ini tidak hanya diisi oleh ahli hisab dan astronomi, tetapi juga melibatkan perwakilan dari berbagai organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam. Ini menunjukkan bahwa sejak awal, pemerintah berkomitmen untuk melibatkan semua pihak yang berkepentingan.
Kerja sama yang terjalin tidak hanya dengan ormas Islam, tetapi juga dengan lembaga-lembaga ilmiah seperti BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) dan Badan Informasi Geospasial. Kolaborasi ini memastikan bahwa data yang digunakan dalam penentuan awal bulan tidak hanya akurat secara syariat, tetapi juga valid secara ilmiah.
Dari sinilah sistem Sidang Isbat lahir dan menjadi sebuah tradisi baru yang resmi. Sidang Isbat adalah sebuah mekanisme yang berlangsung setiap menjelang Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Prosesnya sangat transparan dan melibatkan beberapa tahapan:
Pemaparan Data Hisab: Para ahli akan memaparkan hasil perhitungan matematis tentang posisi bulan pada hari itu.
Konfirmasi Hasil Rukyatulhilal: Setelah pemaparan hisab, tim-tim dari seluruh provinsi akan memberikan laporan hasil pengamatan langsung mereka terhadap hilal.
Pengesahan: Setelah semua data dikumpulkan dan dikonfirmasi, Menteri Agama akan mengesahkan keputusan penetapan awal bulan hijriah.
Mekanisme ini merujuk pada fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 02 Tahun 2004 dan kriteria Imkanur Rukyah. Kriteria ini menetapkan bahwa hilal harus memiliki tinggi minimal tiga derajat dengan elongasi (jarak sudut antara bulan dan matahari) minimal 6,4 derajat. Kriteria ini adalah sebuah jembatan yang menghubungkan antara pandangan syariat dan ilmu pengetahuan.
Menuju Kesepakatan Bersama: Langkah Maju untuk Persatuan Umat
Indonesia tidak berhenti pada sistem Sidang Isbat yang sudah mapan. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, para ahli menyadari bahwa perlu ada upaya yang lebih besar untuk menyatukan kalender hijriah, tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga di tingkat regional dan global.
Sejak tahun 2011, berbagai forum internasional digelar. Salah satu yang paling penting adalah Musyawarah Penyelarasan Rukyat dan Taqwim Islam MABIMS di Bali pada tahun 2012, serta pembahasan Unifikasi Kalender Hijriyah di Jakarta pada tahun 2015. Proses panjang ini menunjukkan komitmen yang kuat dari Indonesia untuk menjadi inisiator dalam menyatukan kalender hijriah.
Semua upaya ini akhirnya membuahkan hasil. Pada Desember 2021, sebuah kesepakatan penting dicapai yang kemudian diimplementasikan di Indonesia mulai tahun 2022. Menurut Ahmad Izzudin, salah seorang Tim Hisab Rukyat Kemenag, langkah ini adalah bukti komitmen pemerintah untuk mengedepankan kebersamaan.
Sinkronisasi kalender ini bukan hanya soal sains dan syariat. Ini adalah tentang persaudaraan umat. Dengan menyatukan kalender, kita tidak hanya mengurangi perbedaan, tetapi juga memperkuat ikatan persaudaraan dan kebersamaan di antara sesama muslim, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain di kawasan ini. Sebuah langkah kecil yang membawa dampak persatuan yang sangat besar.
Sentuhan Teknologi: Akurasi yang Tak Tertandingi
Di era digital seperti sekarang, teknologi memainkan peran yang sangat penting dalam memperkuat validitas data rukyat. Kita tahu bahwa mengamati hilal bukanlah pekerjaan yang mudah. Posisi bulan yang sangat tipis dan rendah sering kali sulit terlihat oleh mata telanjang.
Kini, para ahli falak menggunakan perangkat modern seperti teleskop digital, citra CCD, dan simulasi hilal. Perangkat-perangkat ini memungkinkan mereka untuk mendapatkan akurasi yang lebih tinggi dalam pengamatan. Teknologi ini membantu menghilangkan keraguan dan memperkuat dasar ilmiah dari setiap keputusan.
Sebagai contoh, simulasi hilal yang menggunakan data astronomi terkini dapat memberikan prediksi yang sangat akurat tentang posisi hilal. Ini membantu para periset untuk mengarahkan teleskop mereka ke posisi yang tepat, sehingga kemungkinan untuk mengamati hilal menjadi lebih besar. Dengan demikian, proses penetapan awal bulan tidak hanya soal tradisi dan otoritas, tetapi juga tentang sains yang teruji. Ini adalah perpaduan yang indah antara warisan masa lalu dan inovasi masa kini.
Masa Depan: Menguatkan Literasi Keilmuan Falak
Meskipun sistem Sidang Isbat sudah mapan, Kemenag menyadari bahwa masih ada pekerjaan yang harus dilakukan. Salah satu tantangan terbesar adalah mengedukasi masyarakat agar mereka memahami dasar-dasar penetapan awal bulan kamariah.
Oleh karena itu, Kemenag berkomitmen untuk memperkuat edukasi publik. "Ini bukan hanya persoalan melihat hilal ada akhirnya, tetapi bagaimana kita menguatkan literasi keilmuan falak," pungkas Ahmad Izzudin. Ini adalah sebuah ajakan bagi kita semua untuk tidak hanya menerima keputusan, tetapi juga memahami proses di baliknya.
Dengan memahami keilmuan falak, kita akan memiliki penghargaan yang lebih dalam terhadap setiap keputusan yang diambil. Kita akan tahu bahwa di balik sebuah pengumuman sederhana tentang awal puasa atau Idul Fitri, ada kerja keras, penelitian, dan komitmen besar dari berbagai pihak untuk memastikan bahwa umat Islam di Indonesia dapat menjalankan ibadah mereka dengan tenang dan penuh keyakinan.
Pada akhirnya, sejarah hisab dan rukyat di Indonesia adalah sebuah narasi tentang kemajuan, persatuan, dan keilmuan. Ia adalah bukti bahwa kita bisa menghormati tradisi sambil merangkul inovasi, dan bahwa dalam perbedaan pandangan, kita bisa menemukan jalan menuju kebersamaan.