Jejak Kepemimpinan dari Desa: Mengapa Desa Berahan Wetan adalah Cerminan Nyata Keteladanan Rasulullah untuk Indonesia Emas
![]() |
https://kemenag.go.id/opini/meneladani-rasulullah-menghidupkan-kepemimpinan-pendidikan-dari-desa-SB5W9 |
Apakah Anda pernah merasa bahwa solusi untuk masalah-masalah besar bangsa ini justru bisa ditemukan di tempat-tempat yang paling tidak terduga? Di tengah hiruk-pikuk politik yang kerap dipenuhi dengan konflik dan kepentingan, kita mungkin lelah mencari teladan kepemimpinan sejati. Namun, bayangkan sebuah desa kecil yang berhasil merajut harmoni, bukan hanya dengan retorika, tetapi dengan tindakan nyata yang mengubah masa depan anak-anaknya. Kisah ini adalah tentang Desa Berahan Wetan, Demak. Sebuah desa yang, melalui harmoni kepemimpinan ulama dan umara, menghidupkan kembali nilai-nilai luhur Rasulullah Muhammad SAW, membuktikan bahwa kepemimpinan yang tulus, cerdas, dan melayani tidak pernah usang. Kisah ini bukan sekadar cerita, tetapi sebuah peta jalan, sebuah prototipe yang bisa kita jadikan panduan untuk membangun peradaban dari tingkat yang paling dasar. Mari kita telusuri lebih dalam mengapa desa ini adalah mercusuar kepemimpinan yang kita cari, dan bagaimana kita bisa meneladani jejaknya.
Harmoni Ulama dan Umara: Mengubah Kekuasaan Menjadi Kebaikan
Pada Juli lalu, sebuah paparan disertasi di UIN Walisongo Semarang membuka mata banyak orang. Disertasi karya Dr. Bisri Purwanto itu mengupas tuntas sebuah fenomena langka: "Kepemimpinan Ulama dan Umara di Desa Berahan Wetan, Demak." Di sana, terungkap sebuah kebenaran yang menyejukkan: kepemimpinan yang paling efektif adalah yang tidak terkotak-kotak, melainkan yang berkolaborasi. Di desa ini, otoritas moral para ulama berpadu dengan legitimasi kebijakan para umara (pemimpin formal, seperti Kepala Desa), menciptakan sebuah sinergi yang luar biasa.
Bagaimana mereka melakukannya? Mereka duduk bersama dalam sebuah musyawarah, merancang masa depan pendidikan untuk anak-anak desa. Alokasi dana desa (APBDes) tidak hanya digunakan untuk pembangunan fisik, tetapi juga dialirkan dengan cermat untuk membiayai kehidupan guru-guru mengaji, serta merawat tunas-tunas Islam di madrasah diniyah, TPQ, dan pesantren. Ini adalah sebuah tindakan yang sangat berani dan visioner. Mereka melihat pendidikan sebagai investasi peradaban yang paling utama, bukan sekadar sebuah program.
Pola kolaborasi ini, yang melayani dan memberdayakan, adalah cerminan nyata dari sifat-sifat agung Rasulullah Muhammad SAW. Mari kita bedah bagaimana sifat-sifat itu terwujud dalam praktik nyata di Berahan Wetan.
Siddiq (Jujur) dan Amanah (Terpercaya): Para ulama di desa ini berdiri kokoh dengan ilmu dan akhlaknya, menjadi penjaga nilai yang tak mudah goyah. Mereka jujur pada ilmu mereka, tidak mempolitisasi agama untuk kepentingan sesaat. Di sisi lain, para umara (pemimpin formal) menunjukkan komitmen yang sama. Mereka mengelola kepercayaan masyarakat (berupa anggaran desa) secara transparan dan adil. Setiap rupiah yang dialokasikan untuk pendidikan adalah sebuah amanah yang mereka jaga dengan penuh kejujuran. Mereka membangun peradaban dimulai dari fondasi yang paling fundamental: kepercayaan.
Fathanah (Cerdas): Kepemimpinan mereka juga menunjukkan kecerdasan yang luar biasa. Kecerdasan ini bukan hanya tentang penguasaan teori, tetapi kemampuan untuk melihat masalah dan merajut solusi. Mereka tidak hanya pandai mengidentifikasi masalah, seperti rendahnya kesejahteraan guru non-formal, tetapi juga lihai dalam merancang sebuah solusi yang melibatkan kolaborasi lintas sektor. Mereka cerdas mengelola potensi desa untuk masa depan warganya, membuktikan bahwa kecerdasan sejati adalah yang bermanfaat bagi orang lain.
Tabligh (Komunikatif dan Transparan): Kecerdasan ini kemudian disampaikan kepada masyarakat dengan cara yang paling efektif. Setiap program disosialisasikan dengan bahasa yang merangkul, bukan memerintah. Mereka berbicara dari hati ke hati, dari mimbar masjid hingga balai desa. Tidak ada pemaksaan, yang ada adalah dialog untuk membangun kesepahaman. Inilah yang melahirkan dukungan tulus dari seluruh warga. Ini adalah cerminan nyata dari spirit dakwah Rasulullah yang penuh hikmah dan nasehat baik (QS. An-Nahl: 125).
Dalam sebuah iklim kebangsaan yang kerap dikepung oleh politik transaksional dan kepemimpinan yang terkotak-kotak, kisah dari Berahan Wetan ini terasa seperti oase yang menyegarkan. Ini adalah sebuah pengingat bahwa meneladani Rasulullah bukanlah sebuah romantisme sejarah, tetapi sebuah panggilan untuk menghidupkan sunah kepemimpinannya dalam tindakan nyata, persis seperti yang dilakukan oleh para pemimpin di desa ini.
Trilogi Emas Kepemimpinan Pendidikan: Tiga Pilar yang Mengubah Potensi Menjadi Kemajuan
Dr. Bisri Purwanto, dalam disertasinya, tidak hanya menjelaskan filosofi di balik kesuksesan di Berahan Wetan, tetapi juga membedah resep konkretnya. Resepnya terletak pada sinergi yang utuh dan saling melengkapi antara otoritas ulama dan umara, yang diterjemahkan dalam tiga pilar konkret:
Pilar Pertama: Pembiayaan dari APBDes
Pada pilar ini, kita melihat sebuah terobosan kebijakan yang berani dan visioner. Temuan di lapangan menunjukkan bagaimana Kepala Desa, dengan legitimasi formalnya, mengalokasikan dana desa untuk insentif guru Madrasah Diniyah dan PAUD. Keputusan strategis ini, yang tercatat dalam dokumen APBDes, bukanlah sebuah tindakan amal (charity), melainkan sebuah hasil dari musyawarah yang melihat pendidikan sebagai investasi peradaban yang paling utama.
Para ulama, di sisi lain, tidak pasif. Mereka memberikan legitimasi moral, memastikan bahwa penggunaan uang rakyat untuk pendidikan adalah bagian dari ibadah sosial yang sangat mulia. Pendekatan ini berhasil memangkas kecurigaan dan membangun trust yang menjadi fondasi seluruh program. Ini adalah bukti bahwa ketika kekuasaan (umara) digunakan untuk mendukung kebaikan moral (ulama), ia akan melahirkan manfaat yang berlipat ganda.
Pilar Kedua: Keterlibatan dalam Penyusunan Kurikulum
Para ulama di Berahan Wetan tidak hanya terlibat dalam memberikan legitimasi finansial. Mereka juga masuk jauh ke dalam ranah substansial, yaitu kurikulum. Mereka memastikan bahwa muatan lokal dan nilai-nilai keislaman yang moderat dan rahmatan lil ‘alamin terintegrasi dengan baik dalam pembelajaran. Sementara itu, umara tidak tinggal diam. Mereka mendukung dengan menyediakan forum dan fasilitas untuk pelatihan guru. Mereka bersama-sama memastikan anak-anak tidak hanya pintar secara akademis, tetapi juga memiliki akhlak al-karimah yang kokoh.
Sinergi pada pilar ini adalah sebuah teladan yang sangat berharga. Ia menunjukkan bahwa pendidikan tidak bisa hanya menjadi tanggung jawab satu pihak. Ia membutuhkan kolaborasi yang utuh, yang menggabungkan kecerdasan akademik dengan kebijaksanaan moral, sehingga melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berkarakter.
Pilar Ketiga: Penguatan Kelembagaan Pendidikan
Sinergi ulama-umara ini juga mewujud dalam penguatan struktur kelembagaan. Para ulama sering duduk dalam komite sekolah atau yayasan, memberikan arahan spiritual dan manajerial. Dukungan umara, dengan legitimasi kekuasaan yang mereka miliki, membuat kebijakan yang lahir dari lembaga tersebut memiliki 'gigi' secara struktural dan mudah diakses oleh masyarakat.
Ini adalah sebuah contoh bagaimana otoritas moral dan otoritas formal dapat bekerja sama untuk membangun sebuah sistem yang lebih kuat. Ketika sebuah kebijakan memiliki dukungan moral dari ulama dan dukungan struktural dari umara, ia akan memiliki kekuatan yang luar biasa untuk menciptakan perubahan yang berkelanjutan.
Jika kita mencermati, praktik di atas adalah refleksi nyata dari sifat-sifat Rasulullah. Siddiq & Amanah terwujud ketika ulama jujur pada ilmunya dan umara jujur pada amanah kekuasaannya. Fathanah terlihat dari kecerdasan mereka membaca peluang dan menyelesaikan masalah dengan gotong royong, alih-alih saling menyalahkan. Sementara Tabligh terpancar dari cara mereka berkomunikasi dengan bahasa yang merangkul dan membangun kesepahaman. Spirit yang ternyata masih hidup dan berdenyut kencang di jantung sebuah desa di Demak.
Kepemimpinan Menuju Indonesia Emas: Tiga Watak Fundamental
Kisah dari Berahan Wetan bukan sekadar sebuah studi kasus. Ia adalah sebuah preskripsi (obat) bagi penyakit kronis yang sering kita temui dalam kepemimpinan di Indonesia: praktik transaksional, hedonisme, dan pencitraan. Desa ini mengajarkan kita bahwa menuju Indonesia Emas 2045, kepemimpinan di semua lini harus berani bertransformasi. Transformasi itu dilakukan dengan meneladani tiga watak fundamental yang telah dipraktikkan di Berahan Wetan.
1. Kepemimpinan Berintegritas yang Anti-Korupsi
Praktik Kepala Desa Berahan Wetan dalam mengalokasikan APBDes untuk insentif guru adalah sebuah terobosan birokrasi yang brilian. Ia memotong mata rantai yang lamban dan berbelit, dan menggantinya dengan birokrasi yang melayani. Mereka menggunakan legitimasi kekuasaan secara transparan dan akuntabel untuk mendukung otoritas moral ulama.
Dalam konteks yang lebih luas, ini berarti seorang pemimpin—apakah itu Menteri, Kepala Dinas, Rektor, atau Kepala Sekolah/Madrasah—harus memiliki keberanian moral. Keberanian untuk menggunakan anggaran dan kebijakannya secara kreatif, transparan, dan bebas dari segala bentuk korupsi. Mereka harus berani membuat terobosan prosedural demi kemaslahatan publik. Transparansi harus menjadi obat utama yang memberangus praktik suap dan mark-up anggaran.
2. Kepemimpinan Bersahaja yang Anti-Hedon
Spirit yang terpancar dari para pemimpin Berahan Wetan adalah kesederhanaan dan ketulusan dalam melayani. Mereka tidak menjadikan kekuasaan sebagai simbol status atau alat untuk menumpuk kemewahan duniawi. Pola hidup hemat dan sederhana yang mereka jalankan adalah cerminan nyata dari kepemimpinan yang anti-hedonisme.
Mereka memahami bahwa amanah kepemimpinan adalah ibadah, bukan jalan untuk hidup bermewah-mewah. Inilah teladan yang sangat dibutuhkan di tengah maraknya gaya hidup glamor dan konsumtif di kalangan elite. Kepemimpinan pendidikan harus kembali kepada esensinya: melayani dengan ikhlas, memprioritaskan kepentingan umat, dan menjauhi segala bentuk pemborosan anggaran.
3. Kepemimpinan Substantif yang Anti-Pencitraan
Apa yang dibangun di Berahan Wetan adalah kejujuran dan keikhlasan. Mereka fokus pada substansi: membangun karakter anak didik, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memberdayakan masyarakat. Mereka tidak sibuk membangun fisik sekolah yang megah tetapi abai terhadap kesejahteraan guru dan kualitas kurikulum. Hasilnya adalah peningkatan mutu pendidikan yang nyata, bukan sekadar proyek pencitraan.
Bagi Indonesia Emas, pemimpin pendidikan harus diukur dari sejauh mana mereka berinvestasi pada manusia (human investment), bukan pada baliho atau media sosial. Keberhasilan bukan dilihat dari banyaknya kegiatan yang dipublikasikan, melainkan dari dampak nyata yang dirasakan oleh masyarakat paling akar rumput.
Dengan demikian, Berahan Wetan telah memancarkan tiga watak kepemimpinan pendidikan yang menjadi pilar menuju Indonesia Emas. Ketiganya adalah kristalisasi dari nilai-nilai Siddiq, Amanah, Tabligh, dan Fathanah dalam kepemimpinan Rasulullah. Inilah sistem operasi yang harus di-install pada setiap level kepemimpinan kita, mulai dari dewan guru hingga senat dan rektorat. Jika ini diwujudkan, maka Indonesia Emas 2045 bukan sekadar impian, tetapi sebuah takdir yang dirajut dengan keteladanan dari desa-desa seperti Berahan Wetan hingga seluruh pelosok Indonesia.
Ringkasan dan Ajakan Bertindak: Menjadi Bagian dari Cahaya Peradaban Baru
Kisah dari Desa Berahan Wetan, Demak, adalah sebuah pengingat yang kuat bahwa teladan kepemimpinan Rasulullah SAW tidak pernah usang. Ia masih hidup, relevan, dan berdenyut kencang di tingkat akar rumput. Desa ini telah menunjukkan kepada kita bahwa kolaborasi antara ulama dan umara, yang dilandasi oleh kejujuran, amanah, kecerdasan, dan transparansi, adalah kunci untuk menciptakan perubahan yang nyata.
Kita telah melihat bahwa:
Kepemimpinan di Berahan Wetan adalah cerminan nyata dari empat sifat Rasulullah: Siddiq, Amanah, Fathanah, dan Tabligh.
Sinergi ini diwujudkan dalam tiga pilar konkret: pembiayaan yang transparan, kurikulum yang relevan, dan penguatan kelembagaan yang kokoh.
Praktik ini melahirkan tiga watak kepemimpinan fundamental: anti-korupsi, anti-hedon, dan anti-pencitraan, yang merupakan fondasi menuju Indonesia Emas 2045.
Pada akhirnya, tanggung jawab untuk menghidupkan kembali kepemimpinan ini tidak hanya berada di tangan para pemimpin di pusat, tetapi juga di tangan kita semua. Mulailah dari lingkungan terdekat kita. Jadikanlah setiap tindakan kita sebagai cerminan dari keteladanan Rasulullah. Mari kita ambil hikmah dari kisah Berahan Wetan dan berani menjadi agen perubahan di komunitas kita masing-masing.
Sudahkah Anda mengambil langkah pertama untuk menjadi bagian dari gerakan yang membangun peradaban dari desa?